Kemalasan merupakan penyakit berbahaya yang menjangkiti manusia. Tetapi yang sering tidak kita sadari, kita menyangka diri kita orang yang rajin dan giat di suatu bidang namun tidak rajin dan giat dalam berbisnis. Mungkin judul tulisan ini kurang tepat. Karena ada yang tidak mau berbisnis karena TAKUT, SALAH LANGKAH, dan lain-lain. Bukan hanya karena malas. Namun dalam tulisan ini, untuk meringkas, kita pakai saja kata MALAS untuk menyebut semua jenis keengganan berbisnis.
Dalam tulisan sebelumnya (Manajemen Tabungan), disebutkan bahwa menabung properti tanpa punya tabungan uang dan emas sangat berbahaya. Karena nanti saat butuh uang mendadak, status kita menjadi BU (butuh uang). Orang-orang yang licik (dan itu sifat umumnya manusia layaknya serigala bagi manusia lain) akan mendesak kita untuk menjualnya dengan harga murah. Sekalipun kita tidak mau menjualnya (cuma mau gadai saja), mereka akan terus mendesak.
Bayangkan seorang pegawai/pejabat yang sebesar apapun gajinya masih dalam tahapan rawan, tiba-tiba menabung properti tanpa punya tabungan uang dan emas. Ini berbahaya. Apakah punya tabungan uang dan emas saja tanpa berbisnis cukup? Apa bahaya juga?
Tingkatan Rawan
Tingkatan rawan adalah suatu kondisi dimana pemasukan pasif kita masih di bawah angka nominal kebutuhan kita. Sedangkan pemasukan pasif adalah suatu pemasukan yang tetap kita dapatkan sekalipun kita sakit. Kita sudah bahas, telah memiliki bisnis belum termasuk pemasukan pasif jika kita masif harus bekerja secara aktif di bisnis kita.
Gambarannya begini. Jika bisnis kita produksi masker kain. Yang jahit maskernya cuma kita sendiri. Yang jualan kita sendiri. Mungkin yang belanja bolehlah anak kita. Tapi kalau kita sakit, tidak ada yang jahit masker, ini bisnis tapi pemasukannya masih tergolong pemasukan aktif.
Awalnya mungkin tahapan ini harus dilalui. Namun kita harus berpikir agar bisnis membesar, kita bisa menggaji pegawai, sehingga tugas kita hanya tinggal pengawasan dan atur strategi. Sampai tahapan ini, sudah bisa disebut pemasukan pasif.
Pentingnya Berbisnis
Jika pemasukan kita masih aktif, lalu terjadi masalah (kita sakit berkepanjangan, perusahaan bangkrut, dll) maka ekonomi keluarga langsung terhantam. Naudzu billahi min dzalik. Nah bila kita sudah punya bisnis, kita memang selama ini memenuhi kebutuhan hidup kita dari bisnis. Jadi kerja atau tidak ya sama saja.
Coba bayangkan orang yang belum punya bisnis, namun menumpuk tabungan dan emas. Walaupun banyak, tabungan itu tidak bertambah. Lama-kelamaan akan habis. Jangan terkecoh bunga deposito. Karena kenaikan harga-harga barang (inflasi) lebih tinggi dari bunga deposito. Jangan terkecoh harga emas naik. Karena sudah puluhan tahun 1 gram emas = 50kg beras bagus. Kalaupun beda, tidak beda jauh dari 50kg.
Jadi kalau Anda deposito 1 milyar, lalu Anda makan bunga ribanya itu, mungkin awalnya kehidupan Anda terpenuhi kebutuhannya. Tapi lima tahun ke depan, kelas ekonomi Anda setingkat dengan buruh baru masuk kerja. 10 tahun, Anda tingkat ekonominya di bawah buruh. Kalau Anda sakit, akhirnya depositonya harus ditarik.
Penghasilan Pasif
Coba perhatikan lagi tiga paragraf terakhir. Ada satu prinsip ekonomi yang bagus kita praktikkan walaupun sulit. Yaitu, penuhilah kebutuhan hidup dari penghasilan pasif. Jika kebutuhan hidup Anda 5 juta/bulan, penghasilan pasif Anda 2 juta/bulan, sekalipun penghasilan aktif Anda 15 atau bahkan 30 juta per bulan, Anda masih di tingkatan rawan. Karena kalau terjadi sesuatu dengan Anda, tabungan akan digerogoti untuk membayar kebutuhan hidup Anda.
Jadi kita harus berusaha agar pemasukan aktif kita tidak kita makan sama sekali. Tidak kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan kita. Lalu untuk apa kita bekerja jika bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga? Macam-macam. Misalkan untuk mengejar passion (minat). Untuk mengejar pahala. Dll.
Orang yang bekerja sebagai guru, niatnya adalah menyebarkan ilmu kepada masyarakat. Berapa besarpun guru digaji, tidak akan bisa membayar kemuliaan ilmu yang telah mereka berikan. Masalahnya, jangankan gaji besar. Gaji biasa saja sulit. Orangtua murid sering menunggak. Yang miskin tak bisa bayar, yang kaya menunggak pula.
Apalagi pesantren atau sekolah keagamaan. Benarkah ada yang sampai berkata, “Pak ustadz, ini keluarga saya masuk rumah sakit. Jadi uang lagi kepake banyak. Kalau saya nunggak cicilan mobil dan rumah kan kena denda. Denda utang kan riba. Riba kan dosa. Nah kalau saya nunggak bayar pesantren, kan ga ada dendanya. Ga dosa. Tolong ya anak saya kasih makan dulu sebulan dua bulan. Saya belum bisa ngirim duit”? Semoga itu cuma isu yang tidak benar.
Namun jika memang terjadi, seorang tokoh agama yang punya pabrik tahu tidak akan peduli orangtua murid itu bayar lancar atau menunggak. Bagi dia memberi makan anak orang lain itu pahala. Ya tentunya jangan sampai anak orang diberi makan, anak sendiri kelaparan.
Jika kita makan sehari-hari dan semua kebutuhan dipenuhi oleh penghasilan pasif, lalu penghasilan aktif yang didapat (gaji bekerja) digunakan untuk apa? Untuk pengembangan bisnis. Jika belum ada ide, ditabung. Dengan urutan tabungan rupiah, emas, kemudian properti.
Oleh: Beta Sagita, S.T.P
(Ketua Bidang Kewirausahaan Himpunan Alumni IPB Kab. Bogor, Pelaku UMKM Kuliner)