Akademi UMKM – “Kekayaan tak dapat membeli kebahagiaan”, “Banyak orang miskin hidup bahagia”, “Harta itu jahat. Orang baik wajib menjauhi harta”, dan kalimat-kalimat semisal ini mungkin sering kita dengar. Kalimat-kalimat seperti ini konon katanya merupakan ajaran agama. Benarkah demikian?
Jika pertanyaannya “Benar atau Salah” maka tentu jawabannya tidak sesederhana itu. Tetapi memang ada beberapa prinsip yang seharusnya kita ambil dari teks-teks keagamaan.
1.Lebih baik harta dikuasai oleh orang shalih dibandingkan dikuasai oleh ahli maksiat atau orang kafir.
Rasulullah bersabda:
نعم المال الصالح للمرء الصالح
Sebaik-baiknya harta adalah harta yang shalih (baik/tidak haram) yang dimiliki oleh orang yang shalih. (Hadits riwayat Imam Ahmad)
Penjelasan:
Harta yang ada di dunia ini, jika tidak dikuasai oleh orang shalih, maka akan diambil oleh ahli maksiat bahkan orang kafir. Mereka membuat perusahaan-perusahaan besar. Lalu banyaklah orang-orang Islam bekerja di situ sebagai pekerja.
Hubungan kerja seperti itu halal-halal saja. Tapi sesuatu yang halal wajib ditanyakan lagi satu pertanyaan “Apakah manfaat atau mudharat/bahaya”. Mendengar pengakuan sebagian saudara kita bahwa mereka dilarang melaksanakan ibadah wajib, tentu miris bagi kita. Di antara kasus yang pernah muncul adalah larangan shalat Jumat. Sekalipun hal itu bisa diatasi dengan dialog, posisi kaum muslimin yang makan sehari-harinya tergantung dari gaji di tempat itu membuat mereka takut untuk berbicara.
Akhirnya, tidak sedikit kaum muslimin mengorbankan agamanya demi mendapat nafkah harian. Perkataan “Kefakiran mendekatkan kepada kekafiran” tampaknya semakin hari semakin terbukti. Kita bisa saja meneriakkan bahwa “Perkataan itu bukan hadits”, “Haditsnya palsu” dan lain-lain. Tapi bagaimana dengan fenomena di depan mata kita? Kaidah besarnya, “Fenomena tidak boleh dibantah. Yang bisa dibantah adalah teori yang menjelaskannya”.
Yang jelas, harta yang terbaik adalah harta shalih yang dimiliki orang shalih. Ini shahih perkataan Nabi sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Apa Nabi hanya sekedar bicara tanpa tujuan? Apa sabda Nabi ini hanya sekedar info tanpa perlu diamalkan? Tidak mungkin.
Lalu bagaimana cara mengamalkannya? Secara umum ada dua: 1) Milikilah harta yang shalih. 2) Jadilah orang shalih.
2. Tingkatan tertinggi dalam agama dimiliki oleh orang kaya yang bersyukur.
Rasulullah bersabda:
إنما الدنيا لأربعة نفر: عبد رزقه الله مالا وعلما فهو يتقي فيه ربه ويصل فيه رحمه ويعمل لله فيه حقا فهذا بأفضل المنازل
Dunia ini diberikan hanya kepada empat golongan manusia. Yang pertama, hamba yang Allah beri rizqi berupa harta dan ilmu sehingga dia bertakwa dalam memanfatkan rizqinya itu. Dia manfaatkan rizqi tersebut untuk menyambung hubungan kekeluargaan dan mengamalkan kebenaran ikhlas untuk Allah. Inilah tingkatan yang paling utama. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan AtTirmidzi)
Penjelasan:
Orang yang paling mulia dalam agama kita adalah orang yang paling bertakwa. Allah berfirman:
ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13)
Memang orang miskin yang shalat lebih mulia daripada orang kaya yang tidak shalat. Orang miskin yang banyak dzikir mengingat Allah lebih mulia daripada orang kaya yang tidak berdzikir. Pertanyaannya, “Memangnya orang kaya tidak bisa shalat dan berdzikir?”. Ulama hadits dari kalangan shahabat Nabi Abu Hurairah bercerita:
أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُسْلِمِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَدْ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ .
Orang-orang faqir dari kalangan kaum muslimin mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka berkata, “Ya Rasulullah. Orang kaya sudah memborong derajat yang mulia dan kenimatan yang abadi”.
قَالَ : وَمَا ذَاكَ ؟
Rasulullah bertanya, “Apakah itu?”.
قَالُوا : يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي , وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ , وَيَتَصَدَّقُونَ وَلا نَتَصَدَّقُ ، وَيُعْتِقُونَ وَلا نُعْتِقُ .
Mereka menjawab, “Orang kaya shalat, sebagaimana kami shalat. Puasa sebagaimana kami puasa. Tapi mereka juga bersedekah adapun kami tidak bersedekah. Mereka memerdekakan budak adapun kami tidak memerdekakan budak”.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : أَفَلا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ , وَتَسْبِقُونَ مَنْ بَعْدَكُمْ ، وَلا يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ , إلاَّ مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ ؟
Rasulullah shallallahu alaihi wasalla, bersabda, “Maukah kuberitahu amalan yang bisa membuat kalian mendapatkan pahala orang-orang dari masa lalu dan mendahului pahala orang-orang di masa depan? Dan tidak akan ada yang mendapat keutamaan melebihi kalian. Kecuali orang-orang yang mengamalkan amalan ini sebagaimana kalian”.
قَالُوا : بَلَى , يَا رَسُولَ اللَّهِ .
Mereka menjawab, “Mau wahai Rasulullah”.
قَالَ : تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ : ثَلاثاً وَثَلاثِينَ مَرَّةً .
Rasulullah bersabda, “Bertasbih (subhanallah), takbir (Allahu akbar), dan tahmid (alhamdulillah) sebanyak 33 kali setiap selesai shalat.
Imam Abu Shalih menjelaskan:
فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ , فَقَالُوا : سَمِعَ إخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا , فَفَعَلُوا مِثْلَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ.
Maka orang-orang faqir dari kalangan Muhajirin (muslim Makkah yang hijrah ke Madinah-pen) kembali lagi menemui Nabi. Mereka berkata, “Orang-orang ahli harta mendengar amalan yang kami lakukan. Merekapun mengamalkan amalan seperti yang kami amalkan”.
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Itulah keutamaan dari Allah yang Allah berikan kepada siapapun yang Dia kehendaki”. (Hadits riwayat Imam AlBukhari dan Muslim)
3. Coba jawab pertanyaan berikut, “Apakah orang miskin bisa bahagia?
Apakah orang miskin bisa umroh? Apakah orang miskin bisa naik haji?”. Boleh saja kita berkata, “Orang miskin juga bisa bahagia. Orang miskin juga bisa umroh. Orang miskin juga bisa naik haji”. Dan memang begitu kenyataannya.
Tapi jawab lagi pertanyaan selanjutnya, “Apakah orang miskin bisa membahagiakan orang lain? Apakah orang miskin bisa mengumrohkan orang lain? Apakah orang miskin bisa menghajikan orang lain?”. Rasulullah bersabda:
واليد العليا خير من اليد السفلى
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. (Hadits riwayat Imam AlBukhari dan Muslim)
Dengan demikian, jangan niatkan mencari kekayaan itu untuk hal-hal egois seperti “Saya begini juga bisa hidup bahagia”. Tapi carilah kekayaan itu dalam rangka membahagiakan banyak orang. Jika kita punya perusahaan, perusahaan kita bisa menjadi tempat saudara sesama muslim mencari nafkah. Jika perusahaan kita semakin besar, semakin banyak keluarga kaum muslimin yang Allah beri nafkah melalui perusahaan kita.
4. Kekayaan bukan ibadah, begitupun kemiskinan bukan ibadah.
Sekedar jadi orang kaya tidak akan mendapatkan pahala. Bahkan jika dia lupa kepada Allah yang memberikan kekayaan itu, kekayaan bisa berubah menjadi dosa dan bencana. Allah berfirman:
قَا لَ اِنَّمَاۤ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْ ۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًا ۗ وَلَا يُسْـئَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ
Dia (Qarun) berkata, Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku. Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.
(QS. Al-Qasas 28: Ayat 78)
Namun kemiskinan juga bisa menjadi dosa dan bencana. Rasulullah bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الشَّيْخُ الزَّانِي وَالْعَائِلُ الْمَزْهُوُّ وَالْإِمَامُ الْكَذَّابُ
Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat: 1) Orang yang sudah tua tapi berzina. 2) Orang miskin tapi sombong. 3) Pemimpin tapi pendusta. (Hadits riwayat Imam AnNasai)
Penjelasan:
Orang kaya ada yang sombong, orang miskin pun ada yang sombong. Orang kaya ada yang gila hormat, orang miskin pun ada yang gila hormat. Orang kaya ada yang berzina (karena punya uang), orang miskin pun ada yang berzina (karena butuh uang). Sebagaimana sebaliknya, orang miskin ada yang mencuri, orang kaya pun ada yang korupsi.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, ternyata kondisi orang kaya dan orang miskin ya sama. Bedanya orang kaya bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Mengumrohkan bahkan menghajikan para santri, marbuth masjid, ustadz, sampai ulama.
5. Keutamaan sedekah
Rasulullah bersabda:
أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا
Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut. (Hadits riwayat Imam Muslim)
Penjelasan:
Kita sepakat bahwa untuk bisa bersedekah, tidak harus kaya. Kaya tidaklah wajib. Kekayaan itupun bertingkat-tingkat. Dalam hadits ini, dikisahkan bahwa sekedar memberi minum anjing pun pahalanya sudah sangat besar. Wanita pezina bisa diampuni jika dia ikhlas memberi minum kepada seekor anjing.
Lalu bagaimana pula orang-orang yang belum “serendah” pezina itu? Bagaimana pula jika yang diberi minum bukan anjing tetapi manusia? Bagaimana pula jika yang diberi bukan sekedar minum akan tetapi sumur, pompa, menara air, bahkan MCK yang digunakan untuk bersuci (wudhu dll) dalam rangka beribadah kepada Allah?
Bagaimana pula jika bukan hanya MCK namun juga masjid untuk tempat ibadahnya? Bagaimana pula jika selain air, diberikan juga beras, lauk-pauk, pakaian, sampai tempat tinggal? Bagaimana pula jika yang diberikan itu bukan manusia biasa akan tetapi santri penghafal AlQuran, ustadz, dai, bahkan ulama.
Jika seseorang berkata, “Sedikit tapi ikhlas lebih baik daripada banyak tapi tidak ikhlas”. Maka kita tanya kembali, “Darimana kita tahu yang sedikit itu sudah ikhlas?”. Seberapa sombong diri kita mengklaim suatu amalan sudah ikhlas dan pasti diterima Allah? Lalu apa solusinya?
Solusinya teruslah beramal. Teruslah bersedekah. Sebanyak-banyaknya. Siapa tahu ada minimal satu saja dari amal tersebut yang diterima oleh Allah sehingga semua dosa kita diampuni. Aamiin.
والله أعلم
والله الموفق إلى أقوام الطريق
Oleh : Beta Sagita (Abah Beta)