Pelajaran Sesungguhnya Dari Covid-19 (Bag.1)

Sejak mewabahnya virus Corona yang kemudian berubah nama menjadi Covid-19, praktis hampir semua kegiatan saya di luar rumah baik training, consulting dan coaching tatap muka terhenti. Demikian juga aktivitas saya di media social (Facebook dan Instagram) pun saya stop, namun tidak dengan Whatsapp.

Saya justru banyak berinteraksi dengan dunia luar melalui Whatsapp karena saya pandang cepat dan efisien sehingga saya bisa mendapatkan banyak informasi, baik yang terkait dengan wabah atau perihal lainnya.

True Lesson from Covid-19

Sudah begitu banyak informasi  dan tulisan yang terkait wabah penyakit ini. Saking banyaknya sampai-sampai pak Dahlan Iskan menuliskan “cukup sudah”  tentang Covid-19, begitu kira-kira. Beliau justru mengajak kita, masyarakat untuk segera memikirkan dan melakukan langkah kreatif yang bisa dilakukan untuk bergerak maju.

Dan tulisan inipun tidak bermaksud untuk menambah informasi tentang wabah Covid-19, melainkan untuk mengajak pembaca merenung sejenak tentang diri dan kesaling-tergantungannya dengan lingkungan (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos).

Mari kita mulai..!

Di pertengahan tahun 2019, tepatnya di bulan Juli, saya memulai sebuah rangkaian tulisan – lebih tepatnya caption status – di Facebook yang saya beri judul Re-Orientasi. Tulisan atau caption sederhana itupun saya buat hanya 10 seri (sangat sedikit) dan berisi tentang rencana perjalanan diri “kembali arah”. Ya, saya menggunakan istilah Re-orientasi ketimbang Transformasi, Life Re-orientation instead of Life Transformation.

Tentu saya punya alasan tersendiri mengapa saya menggunakan istilah tersebut dan sebentar lagi saya akan jelaskan. Yang jelas, pandemic Covid-19 ini telah mengingatkan saya akan tulisan-tulisan itu, seakan ia mendorong saya untuk melanjutkannya atau setidaknya mendorong saya untuk terus bergerak “kembali arah”.

Transformasi Vs Reorientasi

Kata transformasi seringkali digunakan oleh banyak penulis buku dan praktisi seputar personal effectiveness, self-improvement dan lain-lain termasuk motivator, trainer, public speaker maupun coach untuk mendorong terjadinya perubahan di dalam diri seseorang guna menjadi lebih baik dan itu bagus. Hanya saja penerapan (aplikasi) dari sebuah transformasi justru dapat berakibat buruk jika salah penempatannya. Mau bukti?? Mari kita lanjutkan…

Menurut vocabulary.com kata transformasi (transformation), didefinisikan sebagai dramatic change in form or appearance – perubahan dramatis dalam hal bentuk atau penampilan. Nah, dari definisi ini saja, teman-teman pembaca mestinya sudah tau makna yang tersirat dari “perubahan dramatis” itu seperti apa. Terlepas dari apapun yang dikatakan atau klaim para penulis, motivator dan lain-lain itu tentang transformasi, saya memandang kata tersebut bisa menjadi pisau bermata dua.

Alih-alih mendapat manfaat, malah justru kita akan terjerumus dalam kepalsuan jika disalahgunakan. Misalnya, bisa saja seseorang melakukan perubahan drastis pada penampilannya untuk mengelabui bahkan menipu orang lain guna mendapat kepentingan pribadi. Bukankah sudah banyak contoh seperti itu dari para pejabat negara sewaktu pemilu lalu?? Silahkan dipikir sendiri ya… Hahaha.

Namun seperti yang saya sampaikan di atas, transformasi tentu juga memiliki arti positif dan sangat relevan untuk di terapkan di era pandemic seperti ini. Dan semua itu dilakukan tidak lain untuk tetap bertahan (survival mode). Banyak perusahaan yang banting setir merubah haluan profesi atau bisnisnya.  Sebut saja misalnya Martha Tilar yang ber’transformasi’ dari bisnis kosmetik ke Hand sanitizer, hotel yang berubah jadi tempat isolasi mandiri, dan lain sebagainya. Termasuk juga para individu-individu professional seperti saya ini, mau tidak mau juga harus banting setir.

Sekarang mari kita bahas kata yang satu nya, Reorientasi.

Masih menurut vocabulary.com, kata Reorientasi (Reorientation) didefinisikan sebagai the act of figuring out again where you are in relationship to your environment, or changing direction – tindakan mencari tahu kemballi di mana posisi Anda berada dalam hubungan dengan lingkungan, atau mengubah arah.

Definisi ini menurut saya memberikan pemahaman kebijaksanaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan “berubah drastis”, karena ia memberi ruang kepada kita untuk melakukan instrospeksi diri, menyelami arti kehadiran kita di dunia ini dan melihat kembali hubungan kita dengan lingkungan (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos) serta merubah arah untuk kembali pada tujuan awal penciptaan manusia. Sepertinya terdengar klise, tapi memang begitulah adanya.

Sekarang sudah jelas perbedaannya kan? Itulah mengapa saya lebih suka menggunakan istilah Reorientasi dibandingkan dengan transformasi. Sampai disini saya harap teman-teman pembaca sudah bisa membayangkan contoh-contoh nyata dalam kehidupan yang membedakan Transformasi dengan Reorientasi, tanpa harus saya berikan contekan lagi.

Lantas, apa hubungannya Reorientasi dengan Pandemi Covid-19 yang sedang mewabah? Mari kita lanjutkan.

Sudah kita ketahui bersama bahwa wabah ini telah “memaksa” kita (baca: seluruh manusia di dunia) untuk berubah, baik perilaku dan kebiasaan hidup maupun dalam menjalankan aktivitas keseharian. Bahkan kehadiran mahluk super-mikro ini telah mampu menghentikan atau setidaknya memperlambat pergerakan manusia di dunia dengan fenomena lockdown atau –di Indonesia- Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kita yang selama ini bebas, seketika harus menahan bahkan mengurung dan mengisolasi diri untuk menahan penyebaran wabah. Kantor dan sekolah libur, bekerja dan belajar dari rumah dan seterusnya. Nah, pada momen seperti inilah kita dapat melakukan atau setidaknya memikirkan dan merencanakan Life-Reoriantation (Reorientasi Kehidupan).

Sekarang, ijinkan saya untuk membahas hal ini dari sisi agama yang saya anut, yaitu Islam. Namun walaupun demikian, percayalah bahwa pembahasannya akan bersifat universal dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku secara umum. Dan ketika kita berbicara tentang prinsip, maka kita harus paham artinya, yaitu sebuah sunatullah (baca: hukum Allah) yang kebenarannya berlaku secara universal dan akan tetap berlaku dimanapun dan pada siapapun, baik disukai atau tidak disukai.

Contoh klasik ilmiah dari prinsip yang bersifat universal ini adalah hukum gravitasi Isaac Newton ketika mengukur percepatan buah apel yang jatuh ke tanah ketika dia dilemparkan ke udara. Ini berlaku bagi siapapun (yang melempar) dan dimanapun (tempat melempar) selama masih di atas permukaan bumi. Suka atau tidak suka, buah apel yang dilempar ke udara akan jatuh ke tanah dengan percepatan yang konstan.

Prinsip 1: Kita tercipta sebagai hamba

Di dalam Al-Qur’an, kitab yang saya yakini kebenarannya, Allah subhanahu wata’ala berfirman “Tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk menghambakan diri kepada Ku” (QS. Az Zariyat: 56).

Menurut para ahli tafsir, kata menghambakan diri (ya’buduni) dalam ayat tersebut memiliki banyak arti. Diantara yang saya ambil adalah 1) merendah, 2) patuh, 3) tunduk dan 4) menyerahkan diri kepada Allah. Namun kebanyakan kita justru mempersempit -kalau bukan menyalahi- makna ayat tersebut hanya menjadi “beribadah” (secara ritual) saja, sehingga banyak aspek lainnya yang tidak tersentuh.

Padahal jika kita memahami secara mendalam dan menjalankan makna dari ayat tersebut, maka kehidupan kita akan terjamin. Dengan kata lain, kita akan bahagia dan selamat, tanpa kekhawatiran dan tanpa kesedihan. Pasti.

Kok bisa? Ya bisa dong, hehe. Karena memang semua (baca: kehidupan manusia dan segala fasilitasnya) sudah dijamin oleh Allah. Kita hanya tinggal menikmati dan memanfaatkannya, dengan catatan kita harus menjalankan ke-empat arti dari kata ya’buduni tersebut.

Harus diakui bahwa sebelum wabah Covid-19 menyerang, kebanyakan manusia seakan lupa diri. Mereka melupakan makna kahadiran dan keberadaannya di muka bumi. Bertindak sewenang-wenang dan berlebihan dalam banyak hal serta abai terhadap apa yang menjadi tugas aslinya: menghambakan diri dihadapan Tuhannya, Allah subhanahu wata’ala. Akhirnya, kehadiran mahluk super-mikro tersebut mau atau tidak mau memaksa kita untuk merendah, patuh dan tunduk serta berserah diri pada ketentuan-NYA, suka atau tidak suka.

Bukankah dari wabah ini kita belajar untuk selalu menjaga kebersihan diri? Bukankan dari wabah ini kita jadi lebih tau apa yang boleh (halal) dan apa yang tidak boleh (haram) dimakan? Bukankah melalui wabah ini kita jadi lebih paham tentang menutup aurat (APD, masker ~ Jilbab, cadar)?

Bukankah sebelum wabah ini banyak manusia yang berhubungan secara intim (dekat) dengan yang bukan muhrim, bahkan (na’udzubillah) dengan sesame jenis dan akhirnya mereka dipaksa harus menjaga jarak dengan social distancing? Inilah bentuk teguran keras –kalau bukan azab- bagi manusia untuk melihat ulang dan memperbaiki hubungan dengan lingkungan disekitarnya.

Dan terlepas dari segala kontroversi terkait wabah covid-19, saya meyakini ini semua sebagai rangkaian peristiwa yang merupakan kehendak Sang Maha Rahman untuk menyelamatkan kehidupan melalui ketentuan ayat yang mulia ini. Buktinya, bumi seperti “diistirahatkan”. Kondisi alam membaik, lapisan ozon kembali menebal karena pencemaran udara berkurang dan banyak lagi contoh lainnya yang menunjukkan perbaikan kondisi alam. 

Lantas bagaimana dengan jaminan bahagia dan selamat tanpa rasa khawatir dan tanpa rasa sedih tadi? Mari kita bahas.

Bahagia adalah dambaan dan harapan semua orang. Segala hal dilakukan untuk meraih kebahagiaan, namun banyak sekali orang yang salah langkah dalam mencari kebahagiaan, terutama mereka yang mensyaratkan kesuksesan. Mereka beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan, mereka harus sukses. Padahal prinsip yang berlaku adalah sebaliknya: “kebahagiaanlah yang akan membuat seseorang sukses, bukan sebaliknya.” Demikian kira-kira yang pernah disampaikan oleh imam Ali bin Abi Tholib.

Seperti halnya bahagia, semua orang juga pasti menginginkan keselamatan bagi dirinya, tanpa terkecuali. Bahkan seorang penjahat pun menginginkan agar ia selamat dan tidak tertangkap oleh petugas keamanan. Dan di saat pandemic ini, nilai keselamatan menjadi semakin penting dimana semua orang sehat berharap ia tidak terjangkit dan semua yang sakit berharap mereka akan sembuh dan selamat.

Nah, bagi orang yang benar-benar mendalami dan menjalankan keempat arti penghambaan inilah, Allah subhanahu wata’ala memberikan jaminan kebahagiaan dan keselamatan yang tanpa kekhawatiran dan tanpa kesedihan. Sebagaimana banyak terdapat dalam ayat Al-quran, Allah berfirman “laa khoufun ‘alaihim wa laa hum yahzanun” – tidak ada kekhawatiran dan tidak ada kesedihan bagi mereka.

Bahkan didalam satu ayat yang khusus ditujukan bagi mereka yang berbahagia di Surga, Allah subhanahu wata’ala mengucapkan “salam” secara langsung kepada mereka, “sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang. (QS. Yasin: 58).  Lebih detail mengenai apa saja bentuk-bentuk jaminan dari Allah, akan saya bahas pada prinsip ke-3 nanti.

Jadi, langkah pertama yang perlu kita lakukan untuk melakukan reorientasi kehidupan adalah dengan menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah hamba Tuhan. Dan sebagai seorang hamba kita harus merendah dihadapan-NYA, patuh dan tunduk terhadap semua aturan dan kehendak-NYA serta berserah diri akan ketentuan-NYA setelah kita berusaha maksimal dalam menjalani kehidupan, baik di masa Pandemi atau kelak nanti sesudahnya.

Sampai jumpa di LIFE REORIENTATION SERIES Bagian 2…

Oleh : Agung Rusnandar (Direktur Utama PT. Mampu)

>>> Silahkan Share artikel diatas, dengan mengklik aplikasi di bawah ini ::

Mungkin Anda Menyukai